Laman

Minggu, 19 Januari 2014

Aku Meneliti, Aku Menulis




Kartika Laras Panduhati






Seharusnya menulis bukanlah perkara sulit. Karena toh kita semua begitu lekat dengan kata.


Sobat Birru, setiap dari kita sudah-selalu menghuni dalam kata. Pergumulan keseharian kita dengan hal ihwal mulai dari pagi hingga petang menjadi mungkin karena kata. Dalam keseharian kita berjumpa dengan pepohonan, jalanan, bebatuan, binatang, langit, lautan dan lain sebagainya menjadi berarti dan bermakna lantaran kata merelakan dirinya menjadi jembatan antara manusia dan dunia. Maka tidak berlebihan jika dikatakan melalui kata terbukalah dunia.

Jika sudah demikian Sobat Birru, seharusnya menulis bukanlah perkara sulit. Karena toh kita semua begitu lekat dengan kata. Setiap hari kita menggunakan kata-kata untuk memahami perjumpaan-perjumpaan dengan apapun. Lantas di mana masalahnya ketika di antara Sobat Birru merasa kesulitan dalam menulis?
Jawabnya mungkin lantaran sebagaian dari Sobat Birru tidak melihat bahwa dunia tulis menulis begitu luas. Lihat saja genre atau gaya penulisan yang ada. Ada gaya penulisan esai, sastra, populer, formal dll. Dan inspirasi untuk sebuah tulisan pun bisa datang dari mana saja. Jadi kesulitan dalam menulis tampaknya terjadi karena belum ditemukannya cara yang dapat mengkondisikan sebuah tulisan.

Pada kesempatan kali ini, kita semua bisa belajar dari Sobat Birru yang satu ini. Sosok gadis belia ini memiliki hobi menulis. Namun menurut pengakuannya, ia lebih suka menulis bergenre riset atau penelitian ilmiah. Jadi bukan sembarang tulisan. Kartika Laras Panduhati namanya. Yuk, kita berkenalan lebih jauh dengan mahasiswi Universitas Indonesia ini.

“Saya lebih suka penulisan yang ilmiah, semacam karya ilmiah. Jadi penulisannya yang melibatkan penelitian juga, meskipun itu penelitian kecil-kecilan. Karena menurut saya tulisan yang ada fakta-fakta itu lebih berarti, bukan gosip”.

Dunia tulis menulis dan riset mulai Tika, demikian biasa disapa, tekuni semenjak duduk di bangku SMA. Bahkan ketika masih duduk di kelas 1 SMA, tulisan Tika sudah dipublikasikan di salah satu media cetak nasional terkemuka, Kompas. Waktu itu tulisanya yang berjudul “UN 6 Mata Pelajaran: Jangan Stress Dong!” merupak riset Tika terkait kebijakan Ujian Nasional yang melibatkan 6 mata pelajaran sekolah. Karena kecemerlangannya tersebut, gadis kelahiran 15 Agustus 1992 ini dipilih menjadi pimpinan redaksi majalah di sekolahnya, SMA 1 Jakarta.

Memasuki dunia kampus, Tika semakin terpikat dengan dunia tulis menulis berbasis penelitian. Tampaknya hobinya semakin matang, Tika menyukai riset-riset sosial-budaya. Ini searah dengan jurusan Sosiologi yang Tika ambil di Universitas Indonesia. “Saya tertarik riset budaya. Karena ternyata semakin kita tahu budaya kita sendiri. Justru semakin banyak hal-hal yang unik dan berbeda. Bahkan bagi saya capaiannya budaya dahulu luar biasa. Misalnya zaman dahulu sudah ada hukum yang mengatur kelautan, hukum Amanadapa di Makassar misalnya,” ungkap gadis kelahiran Jakarta ini.

Ada beberapa penelitian Tika tentang budaya yang dipublikasikan di media cetak. Misalnya riset perihal Songket Lama Minangkabau yang dipublikasikan di majalah National Geograohic Indonesia. Dalam penelitiannya, Tika mewawancara pihak-pihak terkait yang concern dengan pelestarian pakaian adat Minangkabau tersebut. Bahkan Tika menyempatkan diri mewawancara pasangan suami istri Bernhard Bart-Erika Dubler asal Swiss yang jatuh hati dengan kain Songket Lama Minangkabau.

“Jadi ternyata di Indonesia, ada motif-motif kuno Songket Minang. Kalau motif kuno memiliki cerita sendiri, ada artinya, maknya dan filosofisnya. Kalau motif-motif modern sekedar bermuatan estetika. Sayangnya kain-kain kunon itu tidak ada koleksinya di Indonesia. Justru adanya di Amerika, Swiss dan Belanda. Pelestarian justru dilakukan oleh orang Swiss, Erika Dubler dan suaminya. Mereka berkeliling dunia untuk mengabadikan motif-motif kain Songket Lama. Bahkan ada replikanya. Jadi orang Indonesia sendiri justru tidak melestarikan budaya sendiri. Tidak heran jika ada negara-negara luar yang mengklaim budaya Indonesia,” dedah Tika.

Kartika Laras Panduhati yang sekarang baru menginjak semester 3 semakin serius untuk menenggelamkan diri ke dalam dunia riset. Bahkan menurut pengakuannya dirinya beserta komunitasnya berencana membuat sebuah jurnal.

“Saya suka menulis dan berusaha dikirimkan ke media-media. Namun fokus saya ingin menerbitkan jurnal sendiri. Sayang memiliki komunitas yang fokus pada jurnal. Para anggotanya dari berbagai jurusan di UI. Jadi saat, saya dengan teman-teman sedang mempersiapkan peluncuran Jurnal Indonesia,”

Sobat Birru semua bisa mengikuti jejak Kartika. Sebuah motivasi sempat Tika ungkapkan untuk Sobat Birru semua. Menurutnya apa yang menjadi hobi atau kesukaan kita, selama itu positif, maka lakukan saja. “Jadi sebenarnya apapun yang disuka lakukan saja. apapun yang kelihatan tidak mungkin dicoba dahulu”.
 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar